Minggu, 26 Juni 2011

KEJUJURAN DI REPUBLIK INI




Hidup Nyonya Siami bagai dua keping mata uang yang saling berlawanan. Di satu sisi, ia dibenci, dicaci, dicap sok pahlawan, bahkan terusir dari rumah dan kampungnya sendiri. Namun, justru itu membuat namanya harum. Masyarakat Indonesia kini mengenalnya sebagai simbol kejujuran yang terzalimi.
Bahkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat, melalui wakil ketuanya, Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan, pihaknya akan memberi penghormatan pada sosok ibu yang berani menguak kasus mencontek massal dalam pelaksanaan ujian nasional di SDN Gadel II/577 Tandes, Surabaya.
“Kejadian di Surabaya itu sesuatu yang sangat menggugah kemanusiaan kita, bahwa kejujuran tidak diapresiasi, atau mendapat kehormatan tapi justru malah dikucilkan bahkan diusir dari kampungnya. Ini sesuatu yang sangat mengancam kita sebagai sebuah bangsa,” kata dia saat ditemui di DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 15 Juni 2011.
Predikat ‘ibu kejujuran’ juga akan dilekatkan pada Siami. Agar virus kejujuran dapat tersebar di masyarakat. “MPR tidak hanya sekedar memberikan empati, simpati kepada Ibu Siami, tetapi ingin memberikan penghormatan dan apresiasi bahwa kejujuran seperti dia itu sesuatu yang mulia, dan harus kita hormati,” kata Lukman.
Lantas, apakah sikap menokohkan seperti itu bukan sesuatu yang berlebihan? “Saya pikir tidak, karena bangsa ini butuh figur-figur seperti ini. Kita sedang krisis, lihat saja korupsi di mana-mana, dan akar dari korupsi itu ketidakjujuran. Figur Siami itu harus kita lihat pada sisi yang berbeda,” ungkap Lukman. Sumiati dan Alif, anaknya, dijadwalkan akan bertemu pimpinan MPR, Kamis 16 Juni 2011.
Sementara, Komisi Nasional Perlindungan Anak justru berpendapat, tak hanya Siami yang layak mendapat pujian. Ketua Dewan Konsultatif Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi menyatakan, suami, juga putranya juga layak diberi penghargaan. “Mereka layak disebut 'pahlawan kejujuran', menjadi contoh bagi keluarga lain,” kata Kak Seto saat dihubungi VIVAnews.com, Rabu 15 Juni 2011.

Dari kasus Siami, jelas Kak Seto, bisa ditarik banyak pelajaran. Salah satunya, mengoreksi sistem ujian nasional. "Jika UN menjadi penentu kelulusan, yang terjadi justru banyak tindakan yang mencerminkan ketidakjujuran," kata dia. Bayangkan, kata Kak Seto, jika sekolah tak bisa memenuhi target sekian persen kelulusan, ganjarannya adalah sekolah itu bisa ditutup. "Sehingga sekolah menghalalkan segala cara, sementara pemerintah belum bisa menyediakan sarana, prasarana, juga guru yang memadai," kata dia.
Apresiasi juga diberikan mantan Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Ia mengaku prihatin, mengapa yang jujur malah ‘ajur’. “Kejujuran sangat mahal,” kata Hidayat di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 15 Juni 2011. Ia berharap, Pemkot Surabaya, Kanwil Diknas Surabaya, Pemprov Jawa Timur, dan Mendiknas berpihak kepada murid dan orangtua yang jujur dan berani.
“Masyarakat yang mengucilkan mereka juga harus diberi pemahaman. Keberpihakan Kanwil Diknas terhadap mereka diharapkan bisa mengatasi kemarahan warga,” ujar Hidayat. Politisi PKS itu menyatakan, dia sejak dulu mengkritisi sistem Ujian Nasional yang kerapkali menimbulkan masalah.

“Guru membantu murid saat UN. Ini jelas UN harus diperbaiki,” kata Hidayat. Menurutnya, pembenahan pendidikan tidak semata mengandalkan nilai-nilai ujian, tapi juga harus mengedepankan karakter kejujuran murid dan guru. “Ingat, reformasi mencita-citakan pendidikan yang menghadirkan akhlak mulia,” imbuh Hidayat.
Masyarakat pun tak mau kalah, sekelompok aktivis menggelar acara gelar dukungan bagi Siami yang akan diselenggarakan di Aula Mahkamah Konstitusi, Kamis 16 Juni pukul 10.00 WIB. "Mari galang dukungan publik untuk Siami, seorang ibu yang terusir dari kampungnya karena bersikap jujur," demikian isi undangan tersebut. Siami dijadwalkan hadir dalam acara tersebut.

Para pembela Siami pun bergerilya di dunia maya. Sejumlah grup di laman jejaring sosial, didedikasikan untuk ibu yang nyambi menjadi penjahit gorden itu. Salah satunya, “Sejuta Dukungan untuk Keluarga AL yang Bongkar Contekan Massal di Surabaya”.
Sementara, Siami tak menyangka apa yang telah ia lakukan menuai simpati. “Saya tidak menyangka, saya terharu. Saya ini tidak pernah berbuat apa-apa, kok sampai segitu perhatian orang-orang,” kata dia menanggapi rencana pemberian penghargaan ‘Ibu Kejujuran’ dari MPR.
Mendiknas: Tak ada contek massal
Terkait skandal yang dilaporkan Siami, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan tidak ada peristiwa mencontek massal di Sekolah Dasar Negeri Gadel II, Surabaya, Jawa Timur. M Nuh memiliki sejumlah bukti tidak ada insiden, atau mobilisasi pencontekan massal dalam ujian nasional yang digelar 10-12 Mei lalu.

Bukti paling menguatkan adalah tak ada pola jawaban sama dari semua peserta ujian."Bukti lain, hasil nilainya. Di sini, baik Matematika atau yang lain-lain itu tidak menampakkan adanya kesamaan. Artinya, tidak terjadi kecurangan atau contekan massal," kata M Nuh di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Rabu 15 Juni 2011.

Bukti itu diperoleh setelah adanya pemetaan jawaban dari 60 peserta ujian. Hasil pemetaan, pola jawaban yang dicantumkan tidak sama. M Nuh mengambil contoh, bila 60 orang itu menaruh jawaban sama, ketika hasilnya ternyata salah maka satu kelas akan salah semua. Tapi itu tidak terjadi. "Kalau benar ada (contek massal), maka salahnya sama, dan benarnya juga sama semua," kata mantan Menteri Komunikasi dan Informatika ini.
Ditambahkan dia, Pemerintah Kabupaten Kota Surabaya telah mencopot Kepala Sekolah SDN Gadel II, Surabaya, terkait dugaan kasus contek massal di sekolah tersebut.
Nuh menyatakan, insiden yang terjadi di SDN Gadel II hanya melibatkan oknum guru dan salah satu murid, bukan seluruh murid. Oleh karena itu, ia menegaskan tak perlu dilakukan Ujian Nasional ulang di sekolah tersebut. “Jangan sampai murid yang tidak melakukan kecurangan terkena imbasnya. Itu tidak fair, karena contek massal tidak ada,” ujar Nuh.

Menurutnya, kasus yang terjadi di SDN Gadel II memang ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Kota Surabaya, bukan oleh Kemendiknas. Hal itu,  untuk menghindari intervensi. Sanksi yang dijatuhkan Pemerintah Kabupaten Kota Surabaya pun, lanjutnya, diputuskan berdasarkan catatan pemeriksaan dan bukti-bukti yang telah dikumpulkan.
“Ada bukti jika mereka memang menginstruksikan salah satu murid untuk mencontek. Namun instruksi tersebut tidak dijalankan,” jelas Nuh. Dugaan contek massal pun, kata Nuh, otomatis tidak benar karena dari hasil jawaban setiap murid, terlihat pola yang berbeda-beda. “Kalau contek massal kan setiap jawaban hasilnya sama,” imbuh dia.
“Usir, usir!”
Kasus Siami berawal 16 Mei 2011, empat hari setelah ujian nasional berakhir. Dari wali murid lain ia mengetahui bahwa anaknya, Alif, yang termasuk berotak encer diminta memberi contekan pada murid
Siami lantas mengonfirmasi hal ini ke kepala sekolah. Tak puas, ia lalu mengadu ke komite sekolah. Tak mendapat tanggapan, ia membawa masalah ini ke sebuah radio di Surabaya. Lalu, kasus ini sampai ke telinga Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Setelah diproses, sanksi dijatuhkan pada pihak yang dinilai bertanggung jawab: satu kepala sekolah dan dua guru.
Sanksi pada tiga pendidik ini lantas memicu kemarahan wali murid. Mereka menilai Siami, dan keluarganya tak punya hati. Mencemarkan nama sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali warga menggelar demonstrasi di depan rumahnya.
Puncaknya terjadi pada Kamis 9 Juni 2011. Lebih dari 100 warga Kampung Gadel Sari dan wali murid SDN Gadel II ‘menghakimi’ Siami dan keluarga. Mereka menuntut Siami meminta maaf.
Dengan tangis berlinang Siami telah meminta maaf. Namun warga belum puas. Mereka mengusir Siami dan keluarganya dari kampung."Usir, usir!," teriakan warga Gadel menggema di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya.
Siami pun tambah menangis. Ia tak menyangka tetangga kampungnya setega itu mengusirnya. Aksi dorong-mendorong membuat jilbabnya nyaris terlepas. Tubuh Siami yang mungil, limbung. Ia harus dievakuasi agar luput dari kemarahan warga.

Pasca kejadian traumatis itu Siami dan suaminya, Widodo, akhirnya memutuskan mengungsi ke rumah orangtuanya di Gresik. Rumahnya di Gadel ditinggal dalam penjagaan polisi.  "Saya tidak kuat. Saya mau pulang ke rumah orangtua," kata Siami, saat itu. Hingga kini rumah berdinding coklat milik keluarga Siami di Jalan Gadel Sari Barat II kosong.
Sementara, pantauan VIVAnews di SDN Gadel II, proses belajar mengajar berlangsung seperti biasa. “Tidak terganggu,” kata salah seorang guru senior yang tak mau disebutkan namanya.
Kata dia, peristiwa yang ditulis media berlebihan. "Menurut saya itu berlebihan dengan menyebut nyontek massal," katanya. Secara runtut, dikatakan tidak mungkin terjadi nyontek massal. Sebab, di dalam kelas saat berlangsung UN terdapat delapan guru pengawas. Dan, pengawas tidak akan mendiamkan kalau terjadi contekan."Jelas dilarang lah, kita tidak akan mendiamkan itu.”
Sementara, soal kemarahan warga yang menyudutkan Siami, menurutnya juga sudah reda. Itu hanya luapan sesaat. "Wajar, itu spontan dan mereka kan saat itu emosi. Tapi saat ini sudah reda.”


sekarang yang jadi masalah : "di mana kejujuran di republik ini??"
pesen  saya                        : " jadilah orang yang jujur,jangan takut ngungkapin kejujuran itu!"




sumber: http://vivanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis yang seperlunya!

shAre

Entri Populer