Selasa, 17 Juni 2014

sejarah MOS (Masa Orientasi Siswa)

Masa Orientasi Siswa atau disingkat MOS atau
sering disebut juga Masa Pengenalan Lingkungan
Sekolah (disingkat MPLS) merupakan sebuah
kegiatan yang umum dilaksanakan di sekolah
guna menyambut kedatangan siswa baru.
Masa orientasi lazim kita jumpai hampir di tiap
sekolah, mulai dari tingkat SMP, SMA hingga
perguruan tinggi. Tak pandang itu sekolah negeri
maupun swasta, semua menggunakan cara itu
untuk mengenalkan almamater pada siswa
barunya.
MOS dijadikan sebagai ajang untuk melatih
ketahanan mental, disiplin dan mempererat tali
persaudaraan. MOS juga sering dipakai sebagai
sarana perkenalan siswa terhadap lingkungan
baru di sekolah tersebut. Baik itu perkenalan
dengan sesama siswa baru, kakak kelas, guru
hingga karyawan lainnya di sekolah itu. Tak
terkecuali pengenalan berbagai macam kegiatan
yang ada dan rutin dilaksanakan di lingkungan
sekolah.
Sejarah
Pada permulaan masuk sekolah/kuliah, biasanya
para murid atau mahasiswa baru di sekolah
menengah atau universitas akan mengalami
masa-masa ini. Masa-masa seperti ini juga
seringkali menjadi “mimpi buruk” si murid baru
itu sendiri, karena terkadang dimanfaatkan oleh
kakak kelas untuk memelonco si adik kelasnya
itu. Tergantung juga sih…
Sebenarnya, jika ditelusuri. Sejarah MOS, Ospek
ini jika ditelusuri sebenarnya sudah sejak Jaman
Kolonial, tepatnya di STOVIA atau Sekolah
Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Pada
masa itu, mereka yang baru masuk harus
menjadi “anak buah” si kakak kelas itu seperti
membersihkan ruangan senior. Dan hal itu
berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge
School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran
(1927-1942) (STOVIA dan GHS sekarang menjadi
FKUI Salemba), pada masa GHS ini kegiatan itu
menjadi lebih formal meskipun masih bersifat
sukarela. Istilah yang digunakan pada saat itu
adalah ontgroening atau “membuat tidak hijau
lagi”, jadi proses ini dimaksudkan untuk
mendewasakan si anak baru itu.
Ketika sudah merdeka pun, proses ini masih
dilanjutkan bahkan sampai sekarang. Setelah era
50-an, kegiatan ini dibuat lebih “wajib”. Bahkan
malah terkesan semakin tidak mendidik dan
hanya menjadi ajang kepuasan si kakak kelas.
Yang biasanya menjadi bagian “pemlonco”
seringkali orang-orang yang kurang kerjaan, jadi
semakin membuat kesan tidak mendidik. Bentuk
“perkenalannya” pun lebih ke bentuk yang kurang
mendidik dan hanya untuk lucu-lucuan seperti si
anak baru harus menggunakan aksesoris yang
terlihat “lucu”, menggunduli rambut, memakai
dandanan yang aneh-aneh, dsb. Dan kegiatannya
pun biasanya seenak jidat si senior, seperti
membawa barang-barang aneh, dll. Dan penuh
kegiatan fisik pastinya.
Dan anehnya, walaupun banyak ditentang
semenjak era 60-an. Kegiatan seperti ini seakan
tidak ada matinya, malah dalam
perkembangannya kegiatan seperti ini malah
ditiru oleh SMP dan SMA. Dengan dalih
“adaptasi dan peralihan masa”, kegiatan inipun
dicontoh oleh satuan pendidikan dibawahnya.
Walau tidak sesadis di Universitas, tetap saja
terkesan tidak mendidik dan kurang bermanfaat,
khususnya pada MOS di sekolah negeri.
Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan
tuntutan dari masyarakat kebanyakan. Kegiatan
inipun semakin lama semakin “ringan” dan
“mendidik”. Ditambah dengan semakin
terlibatnya pihak sekolah/kampus yang
menyebabkan semakin “terdidik” juga
pelaksananya juga. Sewaktu saya melaksanakan
MOS pun, isinya sudah lebih banyak
pendidikannya dan semakin kecil unsur
ploncoannya (Tapi saya Swasta sih),
Dibandingkan dengan cerita saudara-saudara
saya yang mengalami MOS di 90an awal, 90an
akhir, dan 2000an awal. Dan bahkan di beberapa
Universitas, kegiatan seperti itu sudah
dihapuskan seperti di kampus .
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis yang seperlunya!

shAre

Entri Populer