Kamis, 09 Oktober 2014

G 30 S/ PKI dimata PKI

1411931036768835104
Pengalaman adalah sejarah yang paling nyata, yang apabila tidak dicatat akan lenyap dari ingatan dan pengetahuan masyarakat. Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia, pernah mengatakan bahwa orang Indonesia suka lupa kepada sejarah masa lampau saking asyiknya dengan diri sendiri dan masa sekarang. Ucapan ini jelas bukan merupakan pujian untuk orang Indonesia. Lebih-lebih apabila dihubungkan dengan pendapat Alain Decaux: “Bangsa yang tidak memiliki kesadaran sejarah adalah bangsa yatim-piatu.”
Beberapa hari lagi bangsa Indonesia akan kembali memperingati sebuah ‘perayaan’ yang mereka sebut Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober. Pertanyaannya sekarang, apakah generasi muda sekarang tahu ada apa di tanggal 1 Oktober itu hingga selalu diperingati setiap tahunnya dengan upaca megah yang hampir maenyamai upacara Hari Kemerdekaan?
Lebih dari 32 tahun—bahkan hingga sekarang—bangsa kita meyakini bahwa di malam ‘jahanam’ itu, segerombolan ‘avonturis-avonturis’ (meminjam kata-kata Soeharto) yang berasal dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Pasukan Pengawal Presiden (Tjakrabirawa) menculik dan membantai enam Jenderal dan satu perwira di Jakarta—dua orang perwira di Jawa Tengah—atas arahan dari sebuah Partai terbesar di negeri ini saat itu: PKI, dengan tujuan untuk menggulingkan Pemerintahan Soekarno. Benarkah demikian? Benarkan G-30-S hendak menggulingkan Soekarno? Sejarah adalah milik para pemenang. Bila saat itu G-30-S yang memenangi ‘pertempuran’, bukankah sejarah selanjutnya akan menyatakan bahwa ke tujuh jenderal plus Soeharto lah yang hendak merobohkan negara?
Pengadilan yang berkali-kali difasilitasi oleh pihak militer sebenarnya tak bisa membuktikan apa-apa. Empat pimpinan teras PKI ditembak mati tanpa sempat diadili. Kita harusnya bertanya, kenapa? Sjam Kamaruzzman—mengaku sebagai tokoh PKI (?)—yang anehnya tidak dikenali menepuk dada sambil meyakini bahwa dialah yang mengorganisir gerakan atas perintah dari pimpinan PKI (yang sudah ditembak mati). Melalui kesaksian ‘tunggal’nya lah maka hakim sejarah mengetok palu hukuman mati untuk PKI dengan tuduhan serius: menjadi idiom atas segala kejahatan di negeri ini sampai kiamat nanti.
Sebenarnya, jika orde baru berminat untuk mencapai objektivitas—suatu hal yang tak mungkin—harusnya pengadilan Soedisman—yang herannya juga tak disiarkan langsung oleh TVRI saat itu, tak seperti tersangka lainnya—lah yang lebih patut untuk dipertimbangkan daripada pengakuan seorang megalomaniak bernama Sjam. Selain beliau adalah anggota CC-PKI—pimpinan senior, tokoh paling terkenal setelah Aidit, Njoto, dan Lukman—beliau pun  sempat ‘bergerilya’ selama kurang lebih setahun untuk mengumpulkan bukti epilog dan prolog dari G/30/S. Dokumen beliau yang berjudul “Uraian Tanggung Jawab” hampir tidak pernah dijadikan acuan para sejarawan orba dalam penulisan ulang  tentang G/30/S.
Hari ini, saya akan mencoba menyajikan kepada para pembaca—ejaannya saya edit sesuai EYD dan tulisannya saya ringkas ke hal-hal pokok saja tentang G/30/S—poin-poin yang beliau kumpulkan dengan pisau bedah analisis marxis tentang G/30/S.
Bukan kapasitas kita untuk membenarkan segala analisis beliau, karena Soedisman pun hanya manusia biasa seperti kita juga—bukan iblis seperti yang dituduhkan oleh rezim fasis orba—, semoga analisis beliau di bawah ini bisa sedikit banyak menjadi pertimbangan dalam penelitian ulang atas tragedi yang menyebabkan melayangnya lebih dari satu juta nyawa manusia Indonesia.
*
Para Saudara Pemeriksa yang terhormat.
Saya tertangkap pada tanggal 6 Desember 1966 di daerah terpencil Tomang, dalam juang terkepung lawan, tepat setahun sesudah Kawan Njoto tertangkap. Peristiwa ini sungguh sesuatu adegan yang mengharukan, persamaan waktu mengibaratkan persamaan nasib dan sepenanggungan.
Dari haru, tergugahlah lubuk hati saya untuk mengucapkan terima kasih atas segenap daya upaya yang telah ditempuh oleh para Saudara Pemeriksa yang dengan penuh kesabaran telah berikhtiar untuk mengubah tekad saya memilih “jalan-mati” menjadi “jalan-justisi“. Juga tidak mungkin pernyataan terima kasih saya begitu saja saya lewatkan, tanpa mengulang, sekali lagi mengulang kembali, terima kasih saya atas adanya pengertian dari pihak para Saudara Pemeriksa mengenai pikiran dan perasaan saya yang terpancang dalam hati: untuk mensenyawakan sikap dengan massa anggota PKI yang telah tertembak mati, untuk melaraskan diri dengan sikap mati pemimpin-pemimpin utama PKI, DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman, dan untuk memikul tanggung jawab terhadap ratusan ribu korban massa progressif karena kegagalan G-30-S.
Pada tanggal 3 Januari 1967 para Saudara Pemeriksa mengajukan pertanyaan yang berbunyi sebagai berikut:
Pertanyaan: Apa yang mendorong PKI untuk mengambil suatu tindakan yang menjurus kepada G-30-S pada akhir bulan September /permulaan 1 Oktober 1965 dalam pemerintahan dibawah kekuasaan Presiden Sukarno?
Jawaban: Dalam menjawab pertanyaan tersebut diatas, saya tetap berpegang teguh kepada statement Politbiro CC-PKI tertanggal 6 Oktober 1965 yang antara lain menerangkan, bahwa “PKI tidak tahu menahu tentang G-30-S dan peristiwa itu adalah intern AD”. Alasanya ialah :
1. Dalam sidang-sidang Politbiro CC-PKI, oleh kawan DN Aidit dijelaskan bahwa ada perwira-perwira maju yang mau mendahului bertindak untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal. Untuk itu DN Aidit menugaskan pengiriman beberapa tenaga ke daerah pada hari-hari menjelang mencetusnya G-30-S dengan garisnya “dengarkan pengumuman RRI Pusat dan sokong Dewan Revolusi”. Jika PKI secara menyeluruh terlibat dalam G-30-S maka:
a. Masalah yang begitu penting harus dibicarakan dalam sidang pleno CC-PKI mengingat scope-nasionalnya yang bersifat luas dan penerapan persoalan teori, bahwa “sekali mengangkat senjata haruslah dirampungkan sampai selesai, dan jangan sekali-kali main api dengan senjata”.
b). Masalah yang begitu penting tidak cukup diletakkan penugasan kepada beberapa tenaga ke daerah hanya beberapa hari sebelum peristiwa, tapi seharusnya banyak tenaga yang ditugaskan ke daerah-daerah beberapa bulan sebelumnya dengan garis “bangkitkan massa, adakan perlawanan massa dan bentuk Dewan Revolusi.
2. Sesudah G-30-3 pecah, kenyataannya menunjukkan bahwa PKI pasif tidak berlawan, malahan menjadi korban penangkapan atas perintah “tindak dengan alasan langsung dan/atau tidak langsung tersangkut G-30-S”, menjadi korban pembunuhan massal atas dasar perintah “habisi dan tindas sampai keakar-akarnya”, dan witchhunting (pengejaran teror putih ketiga (1926, 1948, 1965).
Dalam hati timbul tanda-tanya, apakah dosanya Ny.Njoto bersama anak-anaknya yang tidak tahu menahu tentang perbuatan politik suami- ayahnya, kawan Njoto, sampai dijebloskan ditahanan sel Kodim Budikemulyaan, sehingga oroknya tidak dapat menetek lagi karena air susu asat? Padahal pernah oleh yang berkuasa didesirkan ‘jangan balas dendam’, yah, desiran itu hanya sebagai angin lalu saja sebab kenyataannya yang dilancarkan adalah meng-ex-Komunis-kan anggota PKI sekeluarganya komplit. Hal ini, pasif tak berlawan, tidak mungkin terjadi jika PKI mempersiapkan dan disiapkan untuk G-30-S.
3. Yang bergerak dalam G-30-S kebanyakan perwira-perwira non-Komunis disamping yang Komunis, sehingga sesuai dengan keterangan kawan DN Aidit, bahwa perwira-perwira maju mau mendahului bertindak. Apalagi kalau dilihat rencana susunan Dewan Revolusi tidak terdiri dari tokoh utama Nasakom dan dipimpin langsung oleh kawan DN Aidit sendiri.
Dengan mengemukakan tiga-faktor tersebut diatas bukannya saya bermaksud untuk memungkiri bahwa tokoh-tokoh PKI terlibat langsung dalam G-30-S. Tidak, sebagaimana telah saya jelaskan, tokoh-tokoh PKI, termasuk saya sendiri, terlibat dalam G-30-S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat dalam G-30-S.
Dengan mengemukakan tiga-faktor tersebut diatas, bukannya saya bermaksud untuk membandingkan dengan peristiwa pemberontakan yang telah dicetuskan oleh Masjumi/PSI [PSI: Partai Sosialis Indonesia]. Masjumi dikenal sebagai partai yang didirikan di zaman militerisme Jepang, Masjumi dikenal anti-Pancasila sewaktu Konstituante, dan Masjumi dikenal sebagai sebagai DI - TII yang legal sedangkan DI-TII [Darul Islam/Tentara Islam Indonesia] sebagai Masjumi yang ilegal yang bersama-sama PSI memberontak mendirikan negara dalam negara R.I. semasa PRRI/PERMESTA [Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia / Piagam Perjuangan Semesta].
Tokoh-tokoh utama Masjumi/PSI terang menjadi Menteri-menteri PRRI/PERMESTA, tetapi apakah tindakan Pemerintah pada waktu itu? Tindakan Pemerintah pada waktu itu tidaklah otomatis membubarkan Masjumi/PSI, apalagi membubarkan ormas2-ormasnya, menyita hak milik organisasi Masjumi/PSI, menghukum mati takoh-tokohnya dan melarang ajarannya. Malahan Pemerintah memberikan amnesti tokoh-tokoh Masjumi/PSI dibebaskan dan sekarang mulai mengaktifkan kembali Masjumi/PSI. Yang terang GPII [Gerakan Pemuda Islam Indonesia] sudah memproklamasikan diri legal kembali melalui pengumuman di salah satu koran.
Jika, mau mengetuk rasa keadilan dan perikemanusiaan sebagai salah satu sila Pancasila, maka semestinya harus ada perlakuan yang sama baik terhadap Masjumi/PSI maupun PKI, yaitu memisahkan perbuatan tokoh-tokoh PKI jang terlibat dalam G-30-S dan PKI sebagai partai yang tidak tahu-menahu tentang G-30-S. Tetapi hal ini tidak terjadi. Bagi saya jelas, bahwa hal ini tidak terjadi karena yang berkuasa adalah satu kelas dengan Masjumi/PSI. Menurut hukumnya sesuatu klas tidak akan melikuidasi kelasnya sendiri dan yang ditempuh ialah jalan kompromi baik dengan jalan abolisi maupun amnesti. Terhadap PKI yang merupakan lawan kelas dan kekuasan militer sekarang, maka dilakukan tindak likuidasi yang bisa berlangsung untuk sementara dalam artian sejarah.
Disinilah relatifnya keadilan dan kebenaran dipandang dari kekuasaan kelas yang ada pada suatu masa tertentu. Jadi, dengan demikian jelaslah bahwa perjuangan kelas bukannya sirna di Indonesia, tapi justru kebalikannya, perjuangan kelas menjadi menajam.
Sekarang saya akan mengajukan “kekinian” atau “het heden” daripada peristiwa sebelum G-30-S meletus. Persoalan ini perlu saya ajukan, sebab bagi saya “het heden is onderhevig aan het verleden en de tukomst“. Atau “kekinian ditentukan oleh hari kemarin dan menentukan hari depan”. Apakah “kekinian” pada waktu itu?
1. Sikap PKI terhadap Pemerintahan dibawah kekuasaan Presiden Sukarno:
PKI pada waktu itu menentukan sikap terhadap Pemerintahan, ialah menyokong politik Pemerintah yang maju, mengkritik politik Pemerintah yang ragu dan menentang politik Pemerintah yang merugikan Rakyat. Yang maju dan disokong PKI ialah politik Pemerintah yang pada umamnya anti-imperialis dan dalam batas-batas tertentu anti-tuan-tanah (anti-feodal). Politik anti-imperialis Pemerintah yang tepat adalah pembagian kekuatan dunia dalam dua kubu, yaitu: Kubu NEFO yang terdiri dari negeri-negeri Sosialis, negeri-negeri yang baru merdeka dan rakyat-rakyat progresif di negeri-negeri kapitalis menghadapi Kubu kedua yaitu kubu imperialis sebagai kubu OLDEFO. Berdasarkan politik Nefo ini dapatlah garis politik Presiden Sukarno yang merumuskan politik luar-negeri R.I, sebagai berikut: “not to make friends but to defend the revolution“, dan “Nefo”, termasuk RRC adalah “Comrades in arms“. Inilah politik kiri yang tepat, politik anti-imperialis yang dalam perbuatan telah menyokong perjuangan Rakyat Aljazair melawan imperialisPerancis, menyokong perjuangan Rakyat Vietnam melawan imperialis AS, menyokong perjuangan Rakyat Kalimantan Utara melawan Inggris dalam bentuk kongkrit berkonfrontasi dengan proyek bersama imperialis Inggris - AS “Malaysia”, dan menyokong perjuangan Rakyat Pakistan melawan agresi India. Politik kiri anti-imperialis ini sekarang pada hakekatnya sudah dianulir sekarang oleh kekuasaan militer yang sudah tidak lagi anti-imperialis dalam perbuatan, buktinya antara lain mengundang kembali penanaman modal asing dan mengadakan operasi keamanan terhadap “bahaya Komunisme” yang pada hakekatnya ditujukan kepada kaum gerilyawan pejuang Kalimantan Utara. Sekian tentang politik luar negeri anti-imperialis dari Pemerintah yang dulu.
Sedangkan politik dalam negeri yang maju ialah dalam batas-batas tertentu politik anti-tuan tanah (feodal), yaitu: pembatasan hak milik tanah tuan tanah sampai 5 hektar dengan pengaturan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan penurunan setoran kaum tani penggarap dari 5:5 menjadi minimal 6:4 untuk kaum tani penggarap dengan pengaturan oleh Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBM). Politik maju yang sekedar menguntungkan kaum tani penggarap itu sekarang pada hakekatnya telah dianulir oleh kekuasaan militer sekarang, dengan bukti banyak tanah yang dulu sudah dibagikan dicabut kembali oleh tuan-tanah yang bersangkutan dan bagi hasil kembali kepada maksimaal 5:5, bawon (upah panen) dari 1:5 ada yang menjadi 1:20, dan kaum tani penggarap dikenakan pajak-pajak berat lagi. Singkatnya nasib kaum tani penggarap kembali kepada “serba-salah”, berani bicara dicap G-30-S, dan tidak bicara dituduh memboikot politik kekuasaan militer sekarang.
Tentang politik pemerintah yang ragu dan dikritik oleh PKI, adalah politik yang kurang konsekuen dalam pelaksanaan politik anti-imperialis dan pelaksanaan UUPA dan UUPBH. Contohnya tidak adanya ketegasan dalam tindakan terhadap investasi imperialis AS dibidang perminyakan yang merupakan sebagian terbesar devisa R.I.
2. Menghadapi kemungkinan agresi imperialis:
Saya setuju dengan peringatan Presiden Sukarno bahwa death-line imperialis Inggris membentang dari Teluk Aden, kepulauan Andamanen, “Malaysia” sampai Hong Kong. Untuk mempertahankan death-line sebagai life-lineterakhir dari imperialis Inggris, logislah jika Inggris memusatkan kekuatan armada angkatan lautnya, angkatan daratnya dan angkatan udaranya di Malaysia dalam menghadapi politik R.I. yang tepat yaitu: bantu Kaltara (Kalimantan Utara) mengganyang Malaysia. Jadi pengganyangan Malaysia bukannya karena tidak mau rukun dengan bangsa serumpun Melayu tetapi karena imperialis Inggris membentuk federasi Malaysia untuk menumpas Kaltara jang memproklamasikan diri bebas dari belenggu imperialis Inggris.
Inilah politik konfrontasi R.I. yang membawa suasana “on the brink of war“, suasana di tepi jurang perang, konsekuensi dari politik ini ialah menjadikan daerah R.I. sebagai daerah berlatih dan beristirahat bagi para pejuang Kaltara, dan pejuang-pejuang Sukarelawan R.I. bertempur membantu pejuang-pejuang Kaltara melawan imperialis Inggris yang ingin mengamankan daerah belakangnya, dan imperialis Amerika pasti membantu sekutunya imperialis Inggris sebab Amerika Serikat takut kalau semangat anti imperialis rakyat Indonesia yang tinggi menular ke Filipina, sebab akan mengganggu daerah belakang agresi imperialis AS di Vietnam. Gaya berpendapat pada waktu itu memang nyaris adanya, sehingga rakyat harus dibikin werrbaar dan paraat.Caranya ialah mempesenjatai Rakyat dengan senjata dari manapun saja, termasuk dari RRC. Rakyat yang bersenjata sebagai pertahanan dan ketahanan nasional yang ampuh harus diatur dalam ikatan organik yang saya rasakan cocok dengan dicetuskannya gagasan Angkatan Kelima oleh Presiden Sukarno.
Dengan demikian Rakyat yang bersenjata adalah tubuh kekar dengan ABRI sebagai tinjunya menghadapi agresi imperialis. Dengan demikian  Rakyat dan ABRI betul-betul menjelma sebagai air dan ikan yang tak terpisahkan.
Inilah wurbaarlheid dan paraatheid rakyat yang tak terkalahkan menghadapi kemungkinan operasi imperialis. Saya kira tidak salah kalau AURI mengorganisasi latihan-latihan sukarelawan sebagaimana diselenggarakan juga oleh Angkatan-angkatan lainnya. Juga tidak keliru kalau massa anggota PKI ikut serta dalam latihan sukarelawan oleh AURI [Angkatan Udara Republik Indonesia], sebagaimana dilakukan pula oleh massa-anggota partai lainnya untuk ikut serta dalam latihan Sukarelawan oleh Angkatan Bersenjata lainnya.
Andaikata Angkatan ke-V terbentuk, saya rasa tidak akan terjadi latihan-latihan Sukarelawan yang terpisah-pisah, tapi semuanya dapat diselenggarakan bersama sebagai suatu kesatuan oleh ABRI secara bersama.
3. keadaan Finek makin memburuk:
Saya berpendapat pada waktu itu bahwa keadaan Finek (Finansial dan Ekonomi) makin memburuk, harga-harga barang meningkat tinggi, daya beli dan tingkat hidup rakyat makin merosot. Secara pokok sebab-sebabnya telah saya utarakan di depan.
Jalan keluarnya selalu oleh PKI diajukan konsep-konsep, antara lain tidak setuju dengan politik kenaikan harga, menolak deferred payment, dan hukuman mati bagi koruptor-koruptor besar. Konsep-konsep PKI ada yang disetujui Pemerintah, tetapi setelah menjadi keputusan resmi tinggal sebagai keputusan di atas kertas belaka. Malahan lucunya tidak jarang suatu keputusan diembel-embeli dengan pembentukan lembaga-negara baru yang berarti: menambah beban anggaran belanja negara, menyimpang-siurkan wewenang, tugas dan peraturan, serta memacetkan Kementerian yang bersangkutan, karena wewenangnya tergeser oleh lembaga negara baru. Padahal garisnya lembaga-lembaga negara harus di-streamline-kan atau disederhanakan yang menurut hitungan kawan Njoto jumlah lembaga negara pusat tidak kurang dari 150, dan ada seorang pejabat yang menjabat sampai 32 jabatan rangkap. Apakah ini bukan skeur? Disamping skeur, jika Rakyat menuntut tanggung-jawab para Menteri tentang adanya skeur itu, maka mereka lari berlindung dibawah kewibawaan Presiden Sukarno dan menyatakan mereka hanya sekedar pembantu saja. Mereka lupa pembantu rumah-tangga bisa saja jika ada barang hilang bisa diperkarakan, apalagi pembantu Presiden.
4. Pimpinan kanan AD berpolitik mengisolasi PKI:
Berdasarkan informasi-infornasi dari kawan DN Aidit yang teliti dalam menerima informasi-informasi dan cukup memiliki saluran sebagai Menko/(Wakil Ketua MPRS pen-) untuk mencek, maka dijelaskan bahwa pimpinan kanan AD berpolitik mengisolasi PKI. Hal tersebut saya benarkan dan yang saya ingat antara lain: dihebohkannya penjelasan kawan DN Aidit mengenai persetujuan PKI terhadap Pancasila. Serba sulit, diam tentang Pancasila dituduh anti, menerima Pancasila dicap sekedar muslihat. Padahal di konstituante, PKI adalah salah satu partai yang gigih membela Pancasila. Lalu dokumen palsu tentang rencana kudeta PKI yang sudah digugat oleh DN Aidit dalam pertemuan partai-partai di Bogor masih saja disiarkan dikalangan AD bahwa dokumen itu betul. Padahal semestinya bersama-sama mencari konseptornya dan bertindak terhadap konseptor itu.
Pada permulaan tahun 1965, Jenderal Yani di depan Resimen Yogya menerangkan bahwa: sebaiknya hanya ada satu partai Pancasila, dan alat penghubung dengan massa yang dapat diandalkan oleh AD adalah SOKSI [Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia],  sehingga adanya SOKSI perlu dipartahankan. Ini berarti bagi saya bahwa perlu dilikuidasinya partai-partai yang ada, terutama PKI dan ormas-ormas PKI harus ditandingi, antara lain Sobsi dihadapi Soksi. Setelah ulang tahun ke-45 PKI sukses, disiarkan dikalangan AD bahwa PKI bukannya menunjukan kekuatannya tetapi sudah menunjukkan gigi untuk bertindak, padahal PKI tidak ada niat untuk itu. Politik Nasakom bersatu yang disetujui oleh PKI diubah menjadi Nasakom jiwaku. Bagi saya, ini berarti, bahwa kalau sudah berjiwa Nasakom, maka tidak perlu lagi adanya Kom, tidak perlu lagi adanya PKI. Padahal Nasakom adalah persatuan dari tiga aliran politik yang hidup di Indonesia. Kemudian penjelasan Jenderal YANI pada tanggal 27 atau 28 Mei di depan rapat para Panglima daerah AD, bahwa Jenderal YANI sendirilah yang membentuk Dewan Jenderal yang bertugas, memberikan penilaian politik. Jadi tidak sebagai badan yang memberikan kenaikan pangkat, sebab untuk itu sudah ada Panitia Jenderal Sudirman sebagai pengganti Panitia Jenderal Gatot.
Menurut kawan DN Aidit, politik Dewan Jenderal berproses kepada penyelesaian formasi Kabinet dan tindakan Kudeta yang diperkirakan [akan dilakukan] pada peringatan Hari Angkatan Perang. Persiapan-persiapan ke arah itu nampak dengan menarik kekuatan politik lainnya untuk diajak mengisolasi PKI, yaitu pertemuan pimpinan AD dengan PNI [Partai Nasionalis Indonesia] pada tanggal 8 Juni 1965 dirumah Saudara Chaerul Saleh. Jika mau menggalang parsatuan semestinya pertermuan semacam itu diadakan juga dengan partai-partai lain termasuk PKI. Hal ini tidak terjadi. Sedangkan terhadap sesama partai marhaenisnya dilakukan politik “biar mati dengan sendirinya”.
Sesudah pertemuan 8 Juni tersebut, oleh SUAD I, tertanggal 12 Juni 1965 diadakan edaran yang pokoknya memperingatkan bahwa yang terjadi di daerah-daerah terutama di Jatim/Jateng bukan [lah] konsultasi Nasakom tetapi konfrontasi Nasakom dan masalah tanah menjadi hangat. Oleh karena itu disimpulkan supaya para pejabat baik sipil maupun militer untuk tidak menggunakan istilah-istilah seperti integrasi dengan Rakyat, sebab penggunaan istilah semacam itu sudah memihak, dan mengawasi pelaksanaan landreform. Dalam praktik ini berarti mengawasi gerakan rakyat, mengawasi PKI dengan ormas-ormasnya, dan bertindak terhadap pelaksanaanlandreform terbatas bertindak terhadap BTI dan PKI. Jurusannya tidak bisa lain kecuali pembekuan PKI dengan ormas-ormasnya, yang pernah dialami oleh PKI dengan peristiwa 3-S (Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan).
Kemudian pada permulaan Agustus 1965 ada keputusan KOTI kalau tidak keliru no. 86 yang mengatur pembatasan lebih ketat lagi kebebasan demokratis dengan alasan untuk pengamanan rencana ekonomi KOTU, yang kolonial ialah melulu mendasarkan kepada export-drive. Semua penjelasan kawan DN Aidit saya benarkan, sebab saya berpendapat untuk menjamin berlangsungnya kekuasaan militer harus dilakukan pembatasan hak-hak demokrasi dan dilakukan politik mengisolasi PKI sebelum dapat dilikuidasi.
Selamanya PKI berjuang untuk kebebasan demokratis dan menolak kekuasaan militer. Oleh karena itu PKI, selalu berjuang menuntut penghapusan SOB, dan setelah SOB [ter] hapus, [PKI] mensinyalir bahayanya “SOB tanpa SOB”. Sesungguhnya secara hakekat kekuasaan militer itu sudah ada sejak SOB. Walaupun SOB hapus tapi kekuasaan militer tidak berubah posisi, dan dengan gagalnya G-30-S menjadi terealisasi sepenuhnya.
Walaupun secara resmi bukan sebagai partai politik, tetapi hakekatnya AD (Angkatan Darat pen-) adalah partai politik yang politik umumnya ditentukan oleh Seminar AD semacam Kongres partai, antara dua, seminar AD pelaksanaan politiknya dilakukan oleh Komando golongan karya AD semacam Dewan Pimpinan Pleno partai, dan politik praktis sehari-hari dilaksanakan oleh para Menteri AD dalam Kabinet semacam Dewan Harian partai. Malahan pimpinan kanan AD telah menentukan diri sebagai faktor stabilisasi, ini berarti, kekuasaan negara sepenuhnya di tangan kekuasaan militer, de overwinning is kompleet inihanden. Jadi diktator militer yang ditentang oleh G-30-S dan Dewan Revolusi sekarang menjadi kenyataan. Dan meng-ekskomuniskan atau meng-eksklusifkan PKI yang ditentang oleh PKI sekarang menjadi kenyataan. Politik kiri R.I. bermutasi menjadi kanan.
Perwira-perwira maju dipimpin eks Letkol Untung mendahului bertindak untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal: Kawan DN Aidit menjelaskan hal tersebut yang saya yakini akan kebenarannya. Sebab Dewan Jenderal saya artikan sebagai potensi politik kanan dari pimpinan AD yang bertujuan untuk berdominasi penuh dalam kekuasaan negara, sebagaimana sekarang menjadi suatu kenyataan, setiap kekuasaan adalah diktatur dan kekuasaan militer adalah diktatur militer. Hal inilah yang mau dicegah oleh perwira-perwira maju dibawah pimpinan ex Letkol Untung yang mau mendahului bertindak. Saya setuju, sebab sejak dulu saya berjuang anti-militerisme. Dan sudah tentu persetujuan saya itu didasarkan kepada perkiraan bahwa segala sesuatunya sudah diperhitungkan dengan baik dan secara militer. Memang ada dalih yang menyatakan bahwa “aanval is de beste verdediging” atau “menyerang adalah pertahanan yang terbaik”. Selain itu suasana pada waktu itu diliputi oleh sakitnya Presiden Sukarno yang serius. Semua anggota pimpinan PKI menjadi prihatin. Dibalik keprihatinan itu sebagai seorang politik harus memikirkan pengamanan atau “safe-steleen” politik kiri Presiden Sukarno. Saya perkirakan, bahwa tindakan perwira-perwira maju itulah yang akan dapat “safe-steleen” politik kiri Presiden Sukarno, apalagi situasi politik pada waktu itu sebagai situasi politik revolusioner, yang berciri;
1. Pemerintah terpaksa menyesuaikan politiknya dengan tuntutan massa Rakyat banyak;
2. Politik Pemerintah ditentukan di pabrik, perkebunan-perkebunan dan desa oleh massa-aksi Rakyat; dan
3. Aksi-aksi Rakyat terus meningkat dalam birofensi revolusioner
Jadi perkiraan saya pada waktu itu tindakan para perwira maju dengan Dewan Revolusionernya yang Nasakom bersama Presiden Sukarno akan menyudahi “steur-leven” dan mengkonsekuensikan Panca Azimat, yaitu:
1. Nasakom (1926)
2. Pancasila (1945)
3. Manipol (1959)
4. Trisakti (1964)
5. Berdikari (1965)
Berdasarkan pokok persoalan tersebut diatas, dan berdasarken tanggapan saya mengenai segenap penjelasan kawan Aidit yang menurut pengalaman saya senantiasa teliti dalam menghitung imbangan kekuatan, maka dasar-dasar itulah merupakan latar belakang saya untuk menyetujui tindakan para perwira maju yang menjurus kepada G-30-S pada akhir bulan September/permulaan 1 Oktober 1965 dalam Pemerintahan dibawah kekuasaan Presiden Sukarno, sebab keyakinan saya ialah, dengan Dewan Revolusi bersama Presiden Sukarno, maka:
PERTAMA: Akan dapat dikonsekuensikan politik anti-imperialis dan anti tuan-tanah terbatas daripada Pemerintah R.I.;
KEDUA: Akan lebih weerbaar dan paraat Rakyat dalam menghadapi kemungkinan agresi imperialis;
KETIGA: Akan dapat dikonsekuensikan pelaksanaan Dekon (Deklarasi Ekonomi pen-) untuk menanggulangi kesulitan ekonomi dengan meritul (memecat pen-) dan men-Nasakom-kan aparatur Finek, serta bertindak terhadap kaum imperialis, 7 setan desa dan 3 setan kota;
KEEMPAT: Akan dapat dicegah adanya diktatur militer, dilakukan penghapusan SOB tanpa SOB, dan diadakan Nasakomisasi disemua bidang;
KELIMA: Akan dapat direalisasi dengan baik Panca Azimat.
Jawaban hendak saya tutup dengan mengemukakan bahwa cukuplah sudah penjelasan saya, dari saya telah bulat dalam perasaan, pikiran dan hati untuk teguh pada pernyataan saya tertanggal 21 Desember 1966.
Sumber: Dokumen Mahmilub Soedisman yang berjudul “Uraian Tanggung Jawab”. Bertanggal:  Jakarta 3 Januari 1967.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis yang seperlunya!

shAre

Entri Populer