BENDERA PUSAKA
Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada hari Jumat, 17
Agustus 1945, jam 10.00 pagi, di Jln. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia, untuk pertama kali secara
resmi, bendera kebangsaan merah putih dikibarkan oleh dua orang
muda-mudi yang dipimpin oleh Bapak Latief Hendraningrat. Bendera ini
dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno. Bendera inilah yang kemudian
disebut "Bendera Pusaka". Bendera Pusaka berkibar siang dan malam di
tengah hujan tembakan, sampai Ibukota Republik Indonesia dipindah ke
Yogyakarta. Pada tanggal 4 Januari 1946, aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat maka Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Bendera
Pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam kopor pribadi Presiden
Soekarno. Selanjutnya, Ibukota Republik Indonesia dipindakan ke
Yogyakarta.
Tanggal
19 Desember 1948, Belanda melancarkan, agresinya yang ke dua. Pada saat
Istana Presiden, Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Bapak
Husein Mutahar dipanggil oieh Presiden Soekarno dan ditugaskan untuk
menyelamatkan Bendera Pusaka. Penyelamatan Bendera Pusaka ini merupakan
salah satu bagian dari sejarah untuk menegakkan berkibarnya Sang Merah
Putih di persada bumi Indonesia. Untuk menyelamatkan Bendera Pusaka itu.
Agar dapat diselamatkan, Bapak Husein Mutahar terpaksa harus memisahkan
antara bagian merah dan putihnya.
Pada
saat penyelamatan Bendera Pusaka, terjadi percakapan antara Presiden
Soekarno dan Bapak Husein Mutahar. Percakapan tersebut dapat dilihat
dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karangan Cindy Adams.
Berikut petikannya: `Tindakanku yang terakhir adalah memanggil Mutahar
ke kamarku (Presiden Soekarno, pen.). "Apa yang terjadi terhadap diriku,
aku sendiri tidak tahu", kataku ringkas. "Dengan ini, aku memberikan
tugas kepadamu pribadi.
Dengan
ini, memberikan tugas kepadamu untuk menjaga Bendera kita dengan
nyawamu, ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika
Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak
kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya
umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan Bendera Pusaka
ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus
menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya."
Mutahar terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa. Di sekeliling kami,
born berjatuhan. Tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan
kota. Tanggung jawabnya sungguh be rat. Akhirnya, is memecahkan
kesulitan ini dengan mencabut benang jahitan yang memisahkan kedua
belahan bendera itu.
Akhirnya dengan
bantuan Ibu Perna Dinata, benang jahitan di antara Bendera Pusaka yang
telah dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati berhasil dipisahkan. Setelah
bendera menjadi dua, masing-masing bagiannya itu, merah dan putih,
dimasukkan pada dasar dua tas milik Bapak Husein Mutahar, Selanjutnya
pada kedua tas tersebut, dimasukkan seluruh pakaian dan kelengkapan
miliknya. Bendera Pusaka dipisah menjadi dua karena Bapak Mutahar
berpikir bahwa apabila Bendera Pusaka merah putih dipisahkan, tidak
dapat disebut Bendera, karena hanya berupa dua carikkain merah dan
putih. Hal ini untuk menghindari penyitaan dari pihak Belanda.
Setelah
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan
diasingkan, kemudian Bapak Husein Mutahar dan beberapa staf kepresidenan
ditangkap dan diangkut dengan pesawat dakota. Ternyata, mereka dibawa
ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Bapak
Husein Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju
Jakarta.
Di Jakarta, beliau menginap di rumah
Sutan Syahrir Selanjutnya, beliau kost di Jln. Pegangsaan Timur No. 43,
di rumah Bapak R. Said Sukanto Tjokrodiatmodjo (Kapolri I). Selama di
Jakarta, Bapak Husein Mutahar selalu mencari informasi bagaimana caranya
agar dapat segera menyerahkan Bendera Pusaka kepada Presiden Soekarno.
Sekitar
pertengahan bulan Juni 1948, pada pagi hari, Bapak Husein Mutahar
menerima pemberitahuan dari Bapak Soedjono yang tinggal di Oranye
Boulevard (sekarang J1n. Diponegoro) Jakarta. Isi pemberitahuan itu
adalah bahwa ada surat pribadi dari Presiden Soekarno yang ditujukan
kepada Bapak Husein Mutahar. Pada sore harinya, surat itu diambil oleh
beliau dan ternyata memang benar berasal dari Presiden Soekarno pribadi
yang pokok isinya adalah perintah Presiden Soekarno kepada Bapak Husein
Mutahar supaya menyerahkan Bendera Pusaka yang dibawanya kepada Bapak
Soedjono agar Bendera Pusaka tersebut dapat dibawa dan diserahkan kepada
Presiden Soekarno di Bangka (Muntok).
Presiden
Soekarno tidak memerintahkan Bapak Husen. Mutahar datang ke Bangka
untuk menyerahkan sendiri Bendera Pusaka itu langsung kepada Presiden
Soekarno tetapi menggunakan Bapak Soedjono sebagai perantara. Tujuannya
adalah untuk menjaga kerahasiaan perjalanan Bendera Pusaka dari Jakarta
ke Bangka. Alasannya, orang-orang Republik Indonesia dari Jakarta yang
diperbolehkan mengunjungi tempat pengasingan Presiden Soekarno pada
waktu itu hanyalah warga-warga Delegasi Republik Indonesia, antara lain,
Bapak Soedjono, sedangkan Bapak Husein Mutahar bukan sebagai warga
Delegasi Republik Indonesia.
Setelah
mengetahui tanggal keberangkatan Bapak Soedjono, dengan meminjam mesin
jahit milik seorang Isteri Dokter, Bendera Pusaka yang terpisah menjadi
dua dijahit kembali oleh Bapak Husein Mutahar persis di lubang bekas
jahitan aslinya. Akan tetapi, sekitar 2 cm dari ujung bendera ada
sedikit kesalahan jahit. Selanjutnva, Bendera Pusaka ini dibungkus
dengan kertas koran dan diserahkan kepada Bapak Soedjono untuk
diserahkan kepada Presiden Soekarno. Hal ini sesuai dengan perjanjian
Presiden Soekarno dengan Bapak Mutahar seperti dijelaskan di atas.
Dengan diserahkannya Bendera Pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung
Karno, selesailah tugas penyelamatan Bendera Pusaka oleh Bapak Husein
Mutahar. Setelah berhasil menyelamatkan Bendera Pusaka, beliau tidak
lagi menangani masalah pengibaran Bendera Pusaka. Sebagai penghargaan
atas jasa menyelamatkan Bendera Pusaka yang dilakukan oleh Bapak Husein
Mutahar, Pemerintah Republik Indonesia telah menganugerah-kan Bintang
Mahaputera pada tahun 1961 yang disematkan sendiri oleh Presiden
Soekarno.
PENGIBARAN BENDERA MERAH PUTIH DI GEDUNG AGUNG YOGYAKARTA
Menjelang
peringatan Hari Ulang Tahun ke-2 Kemerdekaan Republik Indonesia,
Presiden Soekarno memanggil salah seorang ajudan beliau, yaitu Mayor (L)
Husein Mutahar. Selanjutnya, Presiden Soekarno memberi tugas kepada
Mayor (L) Husein Mutahar untuk mempersiapkan dan memimpin upacara
peringatan Proldamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus
1946, di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Bapak
Husein Mutahar berpikir bahwa untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa,
pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda
se-Indonesia. Kemudian, beliau menunjuk 5 orang pemuda yang terdiri atas
3 orang putri dan 2 orang putra perwakilan daerah yang berada di
Yogyakarta untuk melaksanakan tugas. Lima orang tersebut merupakan
simbol dari Pancasila. Salah seorang dari pengibar bendera tersebut
adalah Titik Dewi pelajar SMA yang berasal dari Sumatera Barat dan
tinggal di Yogyakarta.
Pengibaran Bendera
Pusaka ini kemudian dilaksanakan lagi pada peringatan Hari Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1947 dan tangga 17
Agustus 1948 dengan petugas pengibar bendera tetap orang dari perwakilan
daerah lain yang ada di Yogyakarta.
Pada
tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta
beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia lainnya, tiba kembali di
Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta Bendera Pusaka. Pada tanggal
17 Agustus 1949, Bendera Pusaka kembali dikibarkan pada upacara
peringatan detik-detik Proldamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di
depan Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Tanggal 27 Desember 1949,
dilakukan penandatanganan. naskah pengakuan kedaulatan di negeri
Belanda dan penyerahan kekuasaan di Jakarta. Sementara itu Di
Yogyakarta, dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia
kepada Republik Indonesia Serikat. Tanggal 28 Desember 1949, Presiden
Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan sebagai Presiden
Republik Indonesia Serikat.
Setelah empat
tahun ditinggalkan, Jakarta kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia.
Pada hari itu, Bendera Pusaka Sang Merah Putih dibawa ke Jakarta. Untuk
pertama kali, peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
tanggal 17 Agustus 1950, diselenggarakan di Istana Merdeka Jakarta.
Bendera Pusaka Sang Merah Putih berkibar dengan megahnya di tiang 17 m
dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Regu-regupengibar dari tahun 1950-1966 dibentuk dan diatur oleh Rumah
Tangga Kepresidenan.
BERDIRINYA DIREKTORAT JENDERAL URUSAN PEMUDA DAN PRAMUKA (DITJEN UDAKA) DAN LATIHAN PANDU INDONESIA BERPANCASILA
Pada
saat memperingati ulang tahun ke-49, tanggal 5 Agustus 1966, Bapak
Husein Mutahar menerima "kado" dari pemerintah: beliau diangkat menjadi
Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Setelah berpindah-pindah tempat/kantor kerja dari Stadion
Utama Senayan (Gelora Bung Karno) ke bekas Gedung Dep. PTIP di Jalan
Pegangsaan Barat. Ditjen UDAKA akhirnya menempati gedung bekas
NAKERTRANS Jalan Merdeka Timur No.14. Suatu kegiatan yang diadakan
Ditjen UDAKA ada kaitannya dengan Paskibraka kelak adalah Latihan Pandu
Indonesia ber-Pancasila. Latihan ini sempat diujicobakan 2 kali pada
tahun 1966 dan tahun 1967, kemudian dimasukkan kurikulum ujicoba Pasukan
Pengerek Bendera Pusaka tahun 1967 yang anggotanya terdiri atas para
Pramuka Penegak dan Gugus depan-Gugus depan di DKI Jakarta.
PERCOBAAN PEMBENTUKAN PASUKAN PENGEREK BENDERA PUSAKA TAHUN 1967 DAN PASUKAN PERTAMA TAHUN 1968
Tahun
1967, Bapak Husein Mutahar dipanggil oleh Presiden Soeharto untuk
menangani lagi masalah pengibaran Bendera Pusaka. Dengan ide dasar dan
pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta, beliau kemudian mengembangkan lagi
formasi pengibaran menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Kelompok 17- PENGIRING/PEMANDU
2. Kelompok 8 - PEMBAWA/INT1
3. Kelompok 45- PENGAWAL
Ini
merupakan simbol/gambaran dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia: 17 Agustus 1945 (17-8-45). Pada waktu itu, dengan situasi dan
kondisi yang ada, beliau melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta
dan menjadi anggota Pandu/ Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran
Bendera Pusaka. Semula, rencana beliau untukkelompokpengawal 45 akan
terdiri dari para mahasiswa AKABRI (generasi muda ABRI •sekarang TNI),
tetapi libur perkuliahan dan transportasi Magelang - Jakarta menjadi
kendala, sehingga sulit dilaksanakan. Usul lain untuk menggunakan
anggota Pasukan Khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, MARINIR. dan BRIMOB)
juga tidak mudah. Akhirnya, kelompok pengawal 45 diambil dari Pasukan
Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi dan sekaligus mereka
bertugas di istana, Jakarta.
Pada tanggal 17
Agustus 1968, petugas pengibar Bendera Pusaka adalah para pemuda utusan
propinsi. Akan tetapi, propinsi - propinsi belum seluruhnya mengirimkan
utusan, sehingga masih harus ditambah oleh mantan anggota pasukan tahun
1967. Tahun 1969 karena Bendera Pusaka kondisinya sudah terlalu tua
sehingga tidak mungkin lagi untuk dikibarkan, dibuatlah duplikat Bendera
Pusaka. Untuk dikibarkan di tiang 17 m Istana Merdeka, telah tersedia
bendera merah putih dan bahan bendera (wol) yang dijahit 3 potong
memanjang kain merah dan 3 potong memanjang kain putih
kekuning-kuningan.
Bendera Merah Putih
Duplikat Bendera Pusaka yang akan dibagikan ke daerah terbuat dari sutra
alam dan alat tenun asli Indonesia, yang warna merah dan putih langsung
ditenun menjadi satu tanpa dihubungkan dengan jahitan dan warna
merahnya cat celup asli Indonesia. Pembuatan Duplikat Bendera Pusaka ini
dilaksanakan oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung dibantu PT Ratna di
Ciawi Bogor. Dalam praktik pembuatan Duplikat Bendera Pusaka, sukar
untuk memenuhi syarat yang ditentukan Bapak Husein Mutahar karena cat
asli Indonesia tidak memiliki warna merah bendera yang standar dan
pembuatan dengan alat tenun bukan mesin memerlukan waktu yang lama.
Tanggal
5 Agustus 1969, di Istana Negara Jakarta, berlangsung upacara
penyerahan Duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan Reproduksi Naskah
Proklamasi oleh Presidcn Soeharto kepada Gubernur seluruh Indonesia. Hal
ini dimaksudkan agar di seluruh Ibukota Propinsi dapat dikibarkan
Duplikat Bendera Pusaka dan diadakan pembacaan naskah Proklamasi
bersamaan dengan upacara peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus di Istana
Merdeka Jakarta. Selanjutnya, Duplikat Bendera Pusaka dan Reproduksi
Naskah Proklamasi juga diserahkan kepada Kabupaten-Kota dan
perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Bendera
duplikat (yang dibuat dari 6 carik kain) mulai dikibarkan menggantikan
Bendera Pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan
Republik indonesia, tanggal 17 Agustus 1969, sedangkan Bendera Pusaka
terlipat dalam kotak bertugas mengantar dan menjemput Bendera Duplikat
yang dikibarkan/diturunkan.
Pada tahun 1967
s.d. tahun 1972, anggota Pasukan Pengibar Bendera adalah para remaja SMA
setanah air Indonesia, yang merupakan utusan dari 26 propinsi di
Indonesia. Setiap propinsi, diwakili oleh sepasang remaja yang,
dinamakan Pasukan Pengerek Bendera Pusaka. Pada tahun 1973, Bapak Idik
Sulaeman melontarkan suatu nama untuk anggota pengibar Bendera Pusaka
dengan sebutan Paskibraka. Pas berasal dari Pasukan, dan kib; berasal
dari pengibar, ra berasal dari bendera dan ka dari pusaka. Mulai saat
itu, singkatan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka adalah Paskibraka.
(dikutip dari Buku Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Paskibraka 2010 oleh Kemenpora RI )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tulis yang seperlunya!